FJL Aceh Catat Beberapa Kasus Satwa Mangkrak dan Lemah Putusan Hukum

Aparat penegak hukum harus berkomitmen menyelesaikan semua

Banda Aceh, IDN Times - Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh mencatat, ada 19 perkara kasus perburuan dan perdagangan satwa ditangani oleh aparat penegak hukum di Aceh, sepanjang 2020-2021.

Dari seluruh perkara tersebut, beberapa kasus justru masih mangkrak. Selain itu putusan hukuman terhadap tersangka selalu lebih rendah di banding tuntutan jaksa.

Hal itu disampaikan dalam konferensi pers Publikasi Hasil Pemantauan Penegakan Hukum, Perburuan dan Kematian Satwa di Aceh Selama 2020-2021, pada Kamis (24/02/2022).

Baca Juga: KPPU Tetap Usut Temuan Minyak Goreng 1,1 Juta Kilogram di PT SIMP

1. Masih banyak kasus mangkrak, aparat harus komitmen menyelesaikan

FJL Aceh Catat Beberapa Kasus Satwa Mangkrak dan Lemah Putusan HukumFJL Aceh gelar konferensi pers Publikasi Hasil Pemantauan Penegakan Hukum, Perburuan dan Kematian Satwa di Aceh Selama 2020-2021. (Dokumentasi FJL Aceh untuk IDN Times)

Koordinator FJL Aceh, Zulkarnaini Masry mengatakan, ada beberapa kasus perburuan dan perdagangan satwa di Aceh yang masih mangkrak. Di antaranya dua kasus kematian harimau serta penembakan orang utan Kabupaten Aceh Selatan, kematian anak gajah di Kabupaten Aceh Jaya, dan ada beberapa lainnya.

Perlu komitmen aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut agar ada kepastian hukum melindungi satwa. Sebab, masih ada pelaku yang buron atau masuk daftar pencarian orang (DPO)

"Kami mencatat masih ada 9 orang DPO dari 19 kasus tersebut," kata Zulkarnaini.

"Kami bukan bermaksud meminta warga untuk ditangkap, namun perlu ada kepastian hukum, agar memberikan efek jera bagi yang lain," imbuhnya.

2. Putusan hukuman untuk pelaku selalu lebih rendah

FJL Aceh Catat Beberapa Kasus Satwa Mangkrak dan Lemah Putusan HukumFJL Aceh gelar konferensi pers Publikasi Hasil Pemantauan Penegakan Hukum, Perburuan dan Kematian Satwa di Aceh Selama 2020-2021. (Dokumentasi FJL Aceh untuk IDN Times)

Dia menyampaikan, hasil analisis tim riset FJL, tuntutan tertinggi dalam kasus kematian satwa adalah empat tahun enam bulan yaitu pada kasus kematian gajah di Aceh Timur. Sementara itu, tuntutan maksimal dalam Undang-Undang Konservasi Nomor 5 Tahun 1990 adalah lima tahun kurungan penjara. 

"Undang-undang ini sudah tidak kontekstual lagi dengan kondisi sekarang. Kondisi di mana satwa semakin terancam, deforestasi semakin tinggi, perburuan semakin banyak, tapi ancaman tertinggi itu masih lima tahun. Kami berpikir undang-undang ini perlu direvisi," ujar koordinator FJL Aceh itu.

Alasan jaksa menuntut para pelaku lebih rendah dari UU Konservasi dikatakannya, karena selama ini merupakan sebuah pertimbangan kemungkinan terjadinya kasus yang lebih besar dari kasus-kasus sebelumnya. 

Tujuannya, agar nanti jika ada kasus lain yang lebih berat, kejaksaan bisa menuntut pelaku dengan tuntutan maksimal, lima tahun penjara. 

"Hingga saat ini belum ada kasus di Aceh yang pelakunya dituntut lima tahun penjara, bahkan dalam kasus Gajah Bunta yang dibunuh dengan cara diracun, dan gadingnya dipotong  pakai kapak pun tuntutannya tidak maksimal," tambah Zulkarnaini.

3. Perlu peran media dalam mengawal isu lingkungan

FJL Aceh Catat Beberapa Kasus Satwa Mangkrak dan Lemah Putusan HukumFJL Aceh gelar konferensi pers Publikasi Hasil Pemantauan Penegakan Hukum, Perburuan dan Kematian Satwa di Aceh Selama 2020-2021. (Dokumentasi FJL Aceh untuk IDN Times)

Selain pembicara dari FJL, dalam konferensi pers juga menghadirkan Irham Hudaya Yunardi, Staf Komunikasi Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Dia mengatakan, peran media dalam meliput isu perdagangan dan perburuan satwa sangat penting dalam mendorong kebijakan dan penanganan kasus. Menurutnya, dari HAkA, beberapa kasus yang minim pemberitaan atau bahkan tidak terpantau di media justru berakhir tenggelam tanpa kepastian hukum.

"Yang paling penting juga adalah, posisi barang bukti. Apakah barang bukti sudah dimusnahkan oleh kejaksaan, atau untuk satwa yang masih hidup apakah sudah dilepasliarkan kembali. Namun sering sekali tidak dipantau kelanjutannya," ucap Irham.

Staf komunikasi Yayasan HAkA itu menuturkan, barang bukti juga perlu dikawal sehingga tidak sampai membuka peluang penyalahgunaan barang bukti atau bahkan bisa dipakai untuk kejahatan selanjutnya.

"Kalau tidak kita kawal, bisa saja dijadikan untuk kepentingan pribadi atau diperjualbelikan,” kata Irham.

Baca Juga: Gajah Sumatra Jantan Ditemukan Mati di Hutan Produksi Aceh Utara

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya