Bikin SPPD Fiktif, Eks Ketua DPRK Simeulue Dituntut 1,5 Tahun Penjara

Harus membayar uang pengganti Rp572 juta

Banda Aceh, IDN Times - Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh di Kota Banda Aceh, Aceh, kembali menggelar sidang lanjutan terkait perkara Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif, pada Rabu (17/5/2023).

Adapun agenda sidang dari perkara melibatkan mantan anggota dan pejabat di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Simeulue itu yakni pembacaan tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Simeulue.

1. Jaksa tuntut 1,5 tahun penjara terhadap eks ketua DPRK dan CS

Bikin SPPD Fiktif, Eks Ketua DPRK Simeulue Dituntut 1,5 Tahun PenjaraIlustrasi pengadilan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Terdakwa dalam perkara ini terdiri dari mantan Ketua DPRK Simeulue masa jabatan 2014-2019, Muniarti serta dua anggota legislatif daerah yang sama yakni Irawan Rudiono dan Poni Harjo.

Kemudian tiga terdakwa lagi, di antaranya Astamudin selalu sekretaris Dewan, Mas Etika Putra selaku kepala bagian (Kabag) Administrasi DPRK, dan Ridwan selaku bendahara pengeluaran.

Di hadapan majelis hakim diketuai Sadri dengan hakim anggota R Daddy Harryanto dan Deny Saputra, para terdakwa dituntut satu tahun enam bulan atau 1,5 tahun penjara serta denda masing-masing Rp200 juta subsider dua bulan penjara atas perkara SPPD fiktif anggota DPRK Simeulue.

2. Mantan ketua DPRK Simeulue harus membayar Rp572 juta uang pengganti

Bikin SPPD Fiktif, Eks Ketua DPRK Simeulue Dituntut 1,5 Tahun PenjaraIlustrasi hukum (IDN Times/Mardya Shakti)

Sehubungan dengan itu, disebutkan bahwa keenam terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan primer penuntut umum karena tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Namun, mereka dinyatakan terbukti melakukan tindakan korupsi.

Hal itu sebagaimana dakwaan subsider yakni pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, ayat (2) dan (3) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara, untuk Murniati selaku mantan ketua DPRK Simeulue, harus membayar uang pengganti Rp572 juta dalam waktu satu bulan, maka akan disita harta benda. Apabila tidak mencukupi diganti kurungan penjara selama sembilan bulan.

3. Sekilas tentang kasus SPPD fiktif anggota DPRK Simeulue

Bikin SPPD Fiktif, Eks Ketua DPRK Simeulue Dituntut 1,5 Tahun Penjarailustrasi laporan keuangan (https://www.idxchannel.com)

Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan dua anggota DPRK Simeulue beserta empat orang lainnya sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Mereka diduga membuat Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis mengatakan, SPPD itu dari kegiatan perjalanan dinas pada sekretariat DPRK Simeulue yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Tahun 2019.

"Bahwa dari hasil pelaksanaan ekspose berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan enam tersangka sebagai pihak yang bertanggungjawab," kata Ali, pada Sabtu (23/7/2022).

Keenam tersangka, masing-masing berinisial IR (35), anggota DPRK Simeulue periode 2014-2019 dan 2019-2024. Sementara PH (46), anggota DPRK Simeulue periode 2014-2019 dan 2021-2024 serta pernah menjabat sebagai wakil ketua DPRK Simeulue 2019-2021.

Selanjutnya, A (61) selaku pengguna anggaran sekaligus sekretaris dewan dari DPRK Simeulue 2019; MEP (47), penjabat pengelola keuangan; R (49), bendahara pengeluaran; serta M (64) mantan ketua DPRK Simeulue periode 2014-2019.

Ali menjelaskan, kasus bermula pada 2019. Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) DPRK Simeulue mengalokasikan anggaran untuk dua kegiatan. Alokasi diajukan melalui Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) SKPK Nomor: DPA: 4.01.04.01/DPA_SKPK/2019 tanggal 23 Oktober 2019.

Dua kegiatan tersebut membutuhkan anggaran Rp6.076.185.500. Di antaranya, untuk belanja perjalanan dinas luar daerah dengan anggaran Rp5.571.585.500 dan belanja kursus-kursus singkat atau pelatihan Rp504.600.000.

Kegiatan tersebut dikatakan Ali, diakui telah dilaksanakan pada 2019 lalu. Akan tetapi, ditemukan adanya penggelembungan atau mark up tiket pesawat serta tagihan hotel dari bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas luar daerah.

"Berdasarkan tiket pesawat dan bill (tagihan) hotel fiktif atau mark up tiket pesawat dan bill hotel fiktif," jelasnya.

Inisiasi tersebut dikatakan Ali, diusulkan oleh tersangka M. Ketika itu, pada Januari 2021 bertempat di ruang kerjanya, M mengarahkan tersangka R menghubungi saksi MRL untuk melakukan permintaan penyediaan tiket pesawat dan tagihan hotel fiktif.

“Dengan diketahui tersangka A, sekwan DPRK 2019,” ujarnya.

Tidak hanya itu, kursus singkat dan pelatihan berupa bimbingan teknis (bimtek) pada 2019 juga telah dilaksanakan, namun faktanya kegiatan tersebut tidak pernah ada. Namun, sertifikat kegiatan tetap dibuat dengan anggaran Rp1 juta-Rp1,5 juta untuk setiap pembuatan.

Atas perbuatan tersebut, para terdakwa telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp2,8 miliar berdasarkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari BPK RI Nomor: 25 /LHP/XXI/12/2021 tanggal 27 Desember 2021.

Namun sebelumnya, para terdakwa telah membayar kerugian negara Rp2 miliar kepada Kejari Simeulue.

Baca Juga: Setelah Lampung, Jokowi Cicipi Off Road di Jalanan Labura Sumut

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya