Tantangan Kemerdekaan Pers dan Perjuangan Jurnalis di Tengah Pandemik

Memperingati World Press Freedom Day 2020

Sampai saat ini kemerdekaan terhadap pers masih menjadi hal yang belum berjalan semestinya. Ditambah lagi berbagai tantangan yang dihadapi jurnalis di era pandemik virus corona. Hal itu masih jadi pembahasan penting yang harus terus dikawal setiap peringatan World Press Freedom Day (WPFD) setiap 3 Mei. Tahun ini mengangkat tema Journalism Without Fear and Favour.

Berdiskusi soal itu Forum Jurnalis Perempuan Indonesia menggelar webinar by zoom dan disiarkan lewat FB Livestreaming di akun IDN Times dan FJPI, Sabtu (2/5) dengan tema "Kemerdekaan Pers di Era Pandemik Virus Corona."

Ada 4 narasumber yang dihadirkan dalam webinar tersebut mulai dari Ketua Dewan Pers Prof M. Nuh, Dubes RI di Norwegia Todung Mulya Lubis, Redaktur Senior Kompas Ninuk Mardiana Pambudy dan Ketua FJPI Papua Olha Mulalinda dan dipandu Ketua FJPI yang juga Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis.

Diskusi ini dihadiri para jurnalis dari lintas organisasi dan media. Termasuk Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan dan Ketua AMSI Wensseslaus Manggut.

1. Peringkat Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia lebih baik tahun ini, tapi masih banyak kekerasan yang dialami jurnalis

Tantangan Kemerdekaan Pers dan Perjuangan Jurnalis di Tengah PandemikKetua FJPI Uni Lubis

Membuka diskusi, Uni Lubis memaparkan data dari Reporter Without Borders (RWB) yang meluncurkan Index Kemerdekaan Pers dalam rangka 2020 WPFD, pada 21 April lalu. Indonesia tercatat ada di peringkat 119 lebih baik dari tahun lalu di peringkat 124.

Tapi tantangan menghadapi kekerasan terhadap pers masih cukup besar. Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), tahun 2019 terjadi 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sedikit menurun dari tahun lalu 64 kasus dengan dominasi Pelaku kekerasan kebanyakan adalah aparat, dalam hal ini polisi.

Index RWB menunjukkan ada korelasi yang jelas antara tekanan terhadap kemerdekaan pers dalam respons terhadap pademik virus corona, dnegan ranking negara dalam Indeks tersebut.

"Jurnalis dan media di Indonesia berhadapan dengan potensi kriminalisasi yang ada di KUHP dan UU ITE. Ini ancaman terhadap keselamatan pers, termasuk di era pandemik. Kalau mempertanyakan validitas angka resmi COVID-19 bisa mendorong jurnalis dan media ke penjara, karena dianggap fitnah dan mencemarkan nama baik, maka fungsi jurnalis yang sangat penting di era pandemik, mengawasi kekuasaan (watchdog), terganggu," kata Uni.

Peran pers di era pandemik ini juga semakin penting untuk menyampaikan verifikasi informasi bohong (hoaks) yang beredar begitu cepat di era digital. Pers berperan penting dalam memastikan warga terdampak, tidak terkecuali terutama kelompok yang rentan, mendapatkan akses bantuan dari negara, dan dalam prosesnya, dana-dana bantuan itu tidak dikorupsi. Situasi darurat, kerapkali memunculkan moral hazard untuk memanfaatkan situasi dan sumberdaya yang ada.

2. Dewan Pers memaparkan 4 hal penting untuk meningkatkan kualitas kemerdekaan pers

Tantangan Kemerdekaan Pers dan Perjuangan Jurnalis di Tengah PandemikKetua Dewan Pers Prof M Nuh (facebook IDN Times by zoom)

Sementara itu Ketua Dewan Pers, Prof Muhammad Nuh mengatakan, salah satu tugas berat jurnalis di era pandemik ini adalah mengumpulkan data fakta, sehingga apa yang disampaikan media terjamin kevalidannya. "Syukur-syukur diiringi berbasis insight dan diberikan juga analisasi foresight. Kalau itu bisa kita lakukan, peran kita jadi lebih dibutuhkan. Memberi edukasi pemahaman COVID-19 hingga dampak-dampaknya," kata M Nuh.

Sementara itu pers juga harus berperan sebagai kontrol sosial. Ada empat hal yang yang bisa meningkatkan kualitas kemerdekaan pers mulai dari kompetensi para jurnalisnya,

Kualitas kemerdekaan pers menurut catatannya akan bisa naik kualitasnya kalau diikuti kompetensi para jurnalisnya, lalu integritas, perlindungan dan kesejahteraan. "4 unsur itu jadi satu kesatuan utuh. Jadi ekosistem. Kalau perusahaan pers rontok, para jurnalisnya juga akan rontok. Bagaimana mempertahankan sustainability," tambah pria kelahiran Surabaya 61 tahun silam ini.

3. COVID-19 secara tidak langsung memaksa perubahan secara total, termasuk pola kerja jurnalis

Tantangan Kemerdekaan Pers dan Perjuangan Jurnalis di Tengah PandemikJurnalis menghadiri jumpa pers penyerahan bantuan Tiongkok kepada Kemenkomarves, di Bandara Halim, Jakarta, Jumat (27/3). Dok. Aldi Chandra

Menurutnya, COVID-19 memaksa para jurnalis melakukan perubahan secara total. Kalau tidak terpaksa, webinar dengan zoom seperti ini tidak biasa dilakukan. "Kita masih senang kumpul secara fisik. Bagian membangun kesadaran baru bagi kita untuk mengelola cerdas. Siapa paling cepat recovery akan jadi leader baru. Ini sesuatu yang bagus kita ambil pelajarannya. Menggeser yang tadinya how to growth jadi how to survive. Bisa bertahan saja sudah untung. Tugas sekarang sangat berat jaga sustainibility. Setiap tes, jawaban selalu tersedia. Tugas kita mencarinya," beber Mantan Mendikbud dan Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia di era Presiden SBY itu.

Menurutnya COVID-19 ini menjadi ujian ketahanan sistem sosial , ekonomi, kultur, tata kelola dan lainnya. Rapuhnya individualisme, dan yang kuat adalah socio coesiveness, menjaga hubungan supply-demand, explorasi cyber space menjadi keharusan. Kehidupan sekarang cyber physical space.

"Seperti kendaraan dengan muatan, media pun demikian sebagai kendaraannya. Biasanya hardcopy, bergeser ke digital dan seterusnya. Sekarang harus perkuat logical thinking. Jangan tertarik dengan tradisi saja, harus punya akar yang kuat. ada norma-norma baru. Insya Allah Indonesia bisa," tambah lulusan S3 Universite Science et Technique du Languedoc (USTL) Montpellier, Prancis itu.

"Membangun kesadaran kolektif jangan pakai image tapi pakai kenyataan.Orang-orang sering kali menggunakan ayat alquran untuk menjustifikasi tradisinya bukan kebenarannya. Di lapangan logika-logika ini menarik untuk dibangun dan dicermati," ujarnya.

Baca Juga: Tips Penting Ala Jurnalis Senior Yuli Ismartono Saat Meliput Perang

4. Peran jurnalis penting tapi harus menghadapinya di tengah gangguan terhadap kemerdekaan pers

Tantangan Kemerdekaan Pers dan Perjuangan Jurnalis di Tengah PandemikTodung Mulya Lubis (Facebook IDN Times by Zoom)

Sementara itu Duta Besar Republik Indonesia untuk Norwegia, Todung Mulya Lubis mengatakan, cerita-cerita soal wartawan yang ditangkap karena berita, bukan persoalan baru. Cerita Maria Ressa di Filipina, Jamal Kasshoggi dan banyak jurnalis lain yang harus menghadapi represifnya pihak otoritas.

"Tidak boleh melakukan erosi terhadap kebebasan pers. Tantangan itu ada pada kita. Memaksimalkan segala pembatasan yang dilakukan tidak mudah.Tidak mungkin wartawan bisa fungsional menjalankan fungsinya kalau diberi pembatasan. Ironisnya pandemik membuka peluang opening door naiknya kekuasaan yang otoriter. Di Filipina, pemerintahnya represif, Hungaria dengan perdana menteri membuat UU yang mengubah konstitusi juga memupuk kekuasaan di tangan dia dan satu kelompok. Berita kritis diancam pidana 5 tahun penjara," ujar Todung.

Peran jurnalis penting untuk meluruskan disinformasi yang terjadi. Terutama soal pandemik ini. "Kita tidak tahu statisik yang ada. What is behind the lines. apa yang ditulis kita sudah tahu, tapi apa di belakangnya. Di sinilah banyak disinformasi dan. kesimpulannya kebebasan pers semakin penting. Tidak bisa tidak, harus berjuang. Misi pers bebas lebih penting dari tahun-tahun sebelumnya. kebenaran itu penting, check and balance. kita tidak boleh melepaskan kebebasan pers, karena itu jauh lebih sulit dibanding virus yang kita hadapi," kata pria kelahiran Muaro Botung, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 4 Juli 1949 itu.

Menurut Todung, media harus menjalankan fungsi investigasi jurnalisme tapi malah gak punya big data sebagai referensi. "Sementara di eropa berbicara bagaimana big data bisa menjamin privasi bisa dilindungi. Di indonesia mungkin tidak bicara itu, tapi kesehatan publik," kata advokat lulusan Harvard itu.

5. Tantangan jurnalis bagaimana pemberitaan COVID-19 juga melahirkan harapan

Tantangan Kemerdekaan Pers dan Perjuangan Jurnalis di Tengah Pandemik

Sementara itu Redaktur Senior Kompas Ninuk Mardiana Pambudy berbicara soal tantangan menyajikan berita akurat soal COVID-19 di tengah bahaya yang mengancam jurnalis. Tidak bisa sembarangan menyajikan data agar pembaca tidak bingung dan khawatir.

"Sejak awal kita sudah memperingatkan bahaya COVID-19. Indonesia punya 135 titik entry point dari luar. Saat pemerintah masih belum menganggap ini serius. Sekarang kami masih berusaha mempertahankan jumlah data akurat untuk memprediksi kapan COVID-19 ini berakhir. Masukan dari pembaca membuat kita jadi bersikap hati-hati. Apa yang bisa diberitakan, cara menyajikannya bagaimana. Akhirnya kami coba menyeimbangkan faktanya. Sejak awal pembaca kebingungan, masyarakat cemas dengan penyakitnya, sosial ekonominya. Tapi kita memang harus membangun harapan. Menyajikan noise di tengah-tengah noise," kata Ninuk.

Jurnalis juga tak sekadar dituntut mencari informasi oleh perusahaan medianya, namun juga harus dibekali dengan pengamanan yang memadai. "Wartawan itu pekerjaan kaki, harus jalan ke lapangan. Awalnya semua takut, apalagi cari masker susah. Terkadang situasinya lebih baik, semua lebih tahu cara menghindari. Perlu terus kita kelola. Ancaman kebebasan pers lebih mungkin terjadi dalam daerah kalau urusannya dengan COVID-19. Ancaman bisa datang dalam bentuk lain. Secara ekonomi, kalau dianggap satu media selalu kritis nyinyir bisa saja pemasang iklan menganggap media ini anti pemerintah dan enggan pasang iklan. Padahal itu napas kehidupan media," katanya.

6. Tantangan berikutnya adalah meluruskan disinformasi di media sosial termasuk terhadap buzzer

Tantangan Kemerdekaan Pers dan Perjuangan Jurnalis di Tengah PandemikKetua FJPI Papua (Facebook IDN Times by zoom)

Sementara itu Ketua FJPI Papua Olha Mulalinda mengatakan, jurnalis di daerahnya juga menghadapi tantangan lain yakni dari disinformasi di media sosial. Bahkan harus melawan buzzer-buzzer medsos.

"Melawan saat ini bukan hanya melawan COVID-19, melawan netizen atau buzzer media sosial juga. Teman-teman jadi fokus melakukan klarifikasi di tengah-tengah masyarakat dari status stigma terhadap COVID-19, dari stigma pemakaman, menjurus ke isu-isu sara. Apalagi di sini kan heterogen. Berita pelarangan salat berjemaah di masjid, kami takutkan isunya malah jadi sara. Saya juga sesalkan data-data intelegen bayangan yang beredar terlalu bebas di media sosial," kata Olha.

7. Bagaimana jurnalis bertahan di tengah resesi ekonomi di tengah COVID-19 yang juga mengganggu nasib perusahaan pers?

Tantangan Kemerdekaan Pers dan Perjuangan Jurnalis di Tengah PandemikIlustrasi kerja jurnalistik. IDN Times/Arief Rahmat

Lalu bagaimana tantangan media baik perusahaan pers dan jurnalisnya bertahan di tengah pandemik?  "Di sisi lain, seraya melakukan tugas jurnalistiknya, pers juga menjadi pihak terdampak. Krisis kesehatan yang menimbulkan krisis ekonomi, membuat banyak perusahaan gulung tikar atau harus mengurangi bahkan menutup bisnisnya, tidak terkecuali di industri media. Tugas-tugas penting jurnalistik terancam," kata Uni Lubis.

Ketua AJI Abdul Manan mengatakan, situasi pandemik ini, ekonomi ini memukul sangat serius media. Dampak tidak terelakkan. "Di Jakarta, media potong gaji 25 persen. Ada yang langsung ke tataran bawah (reporter). Di daerah lebih berat dampaknya. Kita banyak dapat laporan soal ini phk, pemotongan gaji dan bekerja tanpa digaji. Bagaimana kita mengharapkan karya jurnalistik berkualitas masih disibukkan di luar soal memikirkan ekonominya," kata Manan.

Ninuk menambahkan, kesejarahteraan wartawan memang jadi dilema sejak dulu. "Wartawan ujung tombak, medianya sndiri harus sehat secara bisnis. Kalau gak sehat gak mungkin bisa memberikan kesejahteraan yang baik kepada medianya. Kita jaga independensi. Soal kesejahteraan, wartawan yang utama mendapatkan cita-cita itu," ucapnya.

Baca Juga: Jurnalis Perempuan Bicara Pro Kontra Pembeberan Identitas Narasumber

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya