TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hak Suara dari Balik Penjara

Memberi suara bak memilih kucing dalam karung

Seorang warga binaan Lapas Kelas III Lhoknga mencelupkan jari ke dalam wadah berisi tinta usai memberikan hak suara pada Pemilu 2024. (IDN Times/Mhd Saifullah)

Safwan duduk di kursi antrean Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas III Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Tangannya memegang selembar kertas yang ada tulisan Model C Pemberitahuan-KPU. Ia berencana memberikan suara dari balik penjara untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

“Karena memilih itu memang hak kita. Lima tahun sekali cuma,” kata Safwan yang menunggu giliran untuk mencoblos di TPS Khusus Lapas Kelas III Lhoknga, Rabu (14/2/2024).

Teras samping perpustakaan yang biasa dijadikan tempat kunjungan bila ke lapas, hari itu didatangi sejumlah warga binaan. Dominan dari mereka mengenakan baju biru dan hijau bertuliskan Lapas Lhoknga WBP di punggung. Namun ada pula yang menggunakan baju biasa.

Sama seperti Safwan, mereka juga memegang lembaran bertuliskan Surat Pemberitahuan Pemungutan Suara Kepada Pemilih.

Petugas sipir yang hari itu bertugas sebagai KPPS di TPS Khusus Lapas Kelas III Lhoknga, mengumpulkan surat undangan pemilih milik para penghuni hotel prodeo. Begitu juga dengan lembaran yang dipegang Safwan.

Suasana TPS Khusus di Lapas Kelas III Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, saat Pemilu 2024. (IDN Times/Mhd Saifullah)

Teras samping perpustakaan hari itu didekor menyerupai ruangan tanpa dinding. Hanya memanfaatkan tali rafia sebagai pembatas. Meja disusun memanjang di beberapa titik, ada pula yang membentuk L.

Empat bilik dari karton bertuliskan KPU Pemilu Tahun 2024 berdiri sejajar di atas meja. Masing-masing bilik memiliki ukuran lebih kurang 40 sentimeter setiap sisinya. 

Tak sampai tiga langkah dari bilik, lima kotak suara berjejer. Ukurannya lebih tinggi dari bilik. Setiap kotak diberi label warna, abu-abu untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, merah DPD RI, kuning DPR RI, biru DPRD Provinsi, serta hijau DPRK Kabupaten/Kota.

Petugas KPPS terlihat menanda nama-nama yang telah menyerahkan Model C Pemberitahuan-KPU. Warga binaan yang duduk di kursi antrean dipanggil satu per satu. 

“Safwan!” Panggilan dilontarkan salah seorang petugas KPPS di TPS Khusus Lapas Kelas III Lhoknga. “Empat pemilihan, sesuai NIK tidak ada DPRK,” timpal petugas itu lagi.

Pria berusia 68 tahun warga Kota Banda Aceh itu langsung menghampiri meja petugas KPPS. Ia menerima surat suara warna abu-abu, merah, kuning, dan biru. 

Safwan memang tidak bisa menerima surat suara warna hijau atau untuk pemilihan DPRD Kabupaten/Kota. Sebab sesuai identitas, napi kasus korupsi itu berdomisili di Kota Banda Aceh, sedangkan lapas tersebut di Kabupaten Aceh Besar.

“Saya tidak bisa memilih DPRK. Saya hanya bisa memilih empat,” ucap Safwan.

Yusnidar seorang narapidana kasus penipuan juga mengalami hal serupa. Perempuan berusia 53 tahun ini hanya bisa memberikan hak suaranya untuk empat jenis pemilihan.

Walau tidak bisa memberikan pilihan untuk wakil di DPRD Kota Banda Aceh, namun Yusnidar tetap bersyukur masih bisa berpartisipasi dalam pemilu. Sebab ada beberapa warga binaan tidak bisa memilih pada 14 Februari 2024.

“Karena warga binaan merupakan rakyat Indonesia juga,” kata napi asal Banda Aceh itu, Kamis (14/2/2024).

Jumlah warga binaan pemasyarakatan yang ada di Lapas Kelas III Lhoknga adalah 303 jiwa. Namun yang bisa memberikan hak pilih hanya 250 orang. Sedangkan tidak bisa memilih sekitar 53 orang.

Kepala Lapas Kelas III Lhoknga, Bambang Setiawan mengatakan, rata-rata warga binaan yang tidak bisa memilih adalah mereka tak memiliki nomor induk kependudukan (NIK) dan tahanan baru.  

“Jadi kami sudah berkoordinasi dengan KIP. Warga binaan ada yang keluar dan ada juga yang masuk,” kata Bambang, Kamis (14/2/2024).

Sementara itu, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Aceh, Yulius Sahruzah mengatakan, jumlah warga binaan yang bisa memilih ada 7.348 dari 7.870 orang penghuni keseluruhan.

Warga binaan yang masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) 4.759 orang, Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) 2.574 orang, dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) 15 orang. Mereka tersebar di 17 lapas, delapan rutan, dan satu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Sementara itu, hanya 24 dari 26 UPT mendirikan TPS Khusus. Sedangkan Rutan Kelas II B Sabang di Kota Sabang dan LPKA Banda Aceh di Kabupaten Aceh Besar tidak mendirikan tempat pemungutan tersebut karena kekurangan pemilih.

UPT yang memiliki dua TPS Khusus, yakni Lapas Kelas II B Kualasimpang di Kabupaten Aceh Timur, Lapas Kelas II A Banda Aceh di Kabupaten Aceh Besar, dan Rutan Kelas II B Banda Aceh di Kabupaten Aceh Tengah. Selebihnya masing-masing satu TPS.

“Mereka yang lapasanya tidak memiliki TPS Khusus, bisa dengan TPS terdekat,” kata Yulius, Kamis (21/2/2024).

Secara rinci, warga binaan pemasyarakatan terdiri dari 1.352 orang tahanan dan 6.518 orang napi. Jika dihitung antara 7.870 orang jumlah warga binaan dikurangi yang memilih, 7.348 orang, hasilnya 522 orang tidak bisa memberikan hak suara.

Yulius menyampakan, rata-rata warga binaan yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar serta tidak cukup umur. Selain itu, ada pula yang tidak bisa memilih karena kekurangan kertas suara.

Ihwal yang disampaikan Yulius dan Bambang dibenarkan oleh Safwan. Ia yang sejak 2018 berstatus sebagai napi menyebutkan ada beberapa rekan-rekan warga binaan pemasyarakatan tidak bisa memilih.

Padahal, pemilu merupakan momen besar sekaligus pesta bagi rakyat Indonesia dalam menyampaikan suara, termasuk warga binaan. Namun fakta di lapangan, suara dari balik penjara masih ada pula yang tidak terdata.

“Kami para napi cukup susah yang bisa memilih,” ungkap Safwan.

Permasalahan napi tidak bisa memilih tak turut disepakati Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Muhammad Sayuni. Ia mengatakan penetapan daftar pemilih sesuai pendataan berwenang di lembaga terkait.

Sebab menurut Sayuni, semua warga negara Indonesia berusia 17 tahun mempunyai hak pilih walaupun seorang warga binaan. Terkecuali seseorang yang hak politiknya dicabut oleh pengadilan sehingga tidak mempunyai hak memilih.

Mengenai pemilih diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Sistem Informasi Data Pemilih.

“Semua dilayani khususnya warga binaan yang ada di pemasyarakatan,” jelas Sayuni, Rabu (27/2/2024).

Sayuni mengatakan adanya warga binaan tidak bisa memilih disebabkan karena terjadi perpindahan menjelang hari pemungutan suara.

Bak memilih kucing dalam karung

Ilustrasi Pemilu. (IDN Times/Mhd Saifullah)

“Mana ada kita yang kenal. Enggak ada yang tahu,” timpal Safwan ketika ditanya mengenai politisi yang berkompetisi pada pesta demokrasi kali ini. 

Sepengetahuan pria berusia 68 tahun asal Kota Banda Aceh itu, tidak pernah ada aktivitas kampanye di lapas. Termasuk sekadar kegiatan sosialisasi nama-nama caleg maupun calon peserta pemilu lainnya.

Safwan mengaku selama dua kali ikut memberikan suara dari dalam penjara, hanya ada sosialisasi mengenai tata cara memilih. Kegiatan itu dilaksanakan petugas dari KIP sebelum hari H pesta demokrasi.

“Hanya sosialisasi cara memilih, sedangkan untuk sosialisasi calon tidak ada,” ungkap Safwan.

Meski demikian, napi kasus korupsi ini akui masih ada mengenal dan mengetahui sejumlah nama caleg yang berkompetisi pada Pemilu 2024. Tetapi ia lebih mengetahui nama calon presiden dan wakil presiden.

Caleg-caleg tersebut ia kenal sebelum dirinya masuk bui. Sebagian lagi ia ketahui melalui media cetak maupun televisi.

Berbeda dengan Safwan, Yusnidar yang baru memberikan hak suaranya di TPS Khusus Lapas Kelas III Lhoknga tersebut, mengaku mengenal caleg yang ia amanahkan suaranya.

Bahkan caleg yang maju, dikatakan napi kasus penipuan itu, pernah mendengar sebelum ia mendekam di lapas. Hal ini dikarenakan, perempuan berusia 53 tahun itu baru masuk ke hotel prodeo pada September 2023. 

“Sebagian nama memang sudah duluan kita dengar sebelum kita di sini. Karena kebetulan saya baru juga,” kata Yusnidar.

Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KIP Provinsi Aceh mengatakan, memang tidak ada kampanye maupun sosialisasi nama caleg di dalam lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan (rutan).

Salah satu kondisi sederhana, dikatakan Sayuni, karena banyaknya jumlah partai politik (parpol) hingga calon DPD RI pada Pemilu 2024. Perbedaan pilihan dapat memicu keributan di hotel prodeo.

Oleh karena itu, hanya sosialisasi mengenai hak pilih, teknis pemilihan, serta pemberitahuan informasi terkait surat suara saja yang boleh. Kegiatan itu sudah dilakukan sebelum pesta demokrasi digelar.

“Itu sudah disosialisasikan KIP kabupaten kota,” kata Sayuni.

Ikhwal tersebut juga dibenarkan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Aceh. Yulius mengaku hingga saat ini memang belum ada izin kampanye caleg di lapas dan rutan.

Dua unit satuan kerja di bawah Kemenkumham tersebut, dikatakan mantan Kepala Lapas Kelas I Palembang, masih merupakan institusi vital pemerintah. Sehingga harus benar-benar netral dan dijaga.

“Kita harus mencegah terjadinya perbedaan paham di dalam yang akhirnya ribut di lapas maupun rutan,” kata Yulius.

Sehubungan dengan itu, petugas Kanwil Kemenkumham, dikatakan Yulius, tetap harus menjaga netralitas saat hari pemungutan suara sehingga warga binaan tidak merasa ada intervensi saat memberikan hak memilihnya.

Kekurangan surat suara di penjara

Suasana TPS Khusus di Lapas Kelas III Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, saat Pemilu 2024. (IDN Times/Mhd Saifullah)

Permasalahan di TPS Khusus tidak hanya sekadar warga binaan yang tidak masuk daftar pemilih saja. Namun petugas Kanwil Kemenkumham Provinsi Aceh yang berperan sebagai KPPS di hari pemungutan mendapati kekurangan surat suara di TPS.

Yulius mengatakan, kekurangan surat suara padahal sudah disampaikan sebelum hari pemungutan kepada masing-masing KIP sesuai lapas maupun rutan yang mendirikan TPS Khusus.

“Jadi permasalahan sewaktu pemilihan itu yang paling krusial adalah kekurangan surat suara di beberapa UPT,” ungkap Yulius.

Kekurangan itu, diakui Yulius, tidak ada berkaitan dengan narapidana. Sebab tidak ada pemindahan narapidana dari lapas maupun rutan di Aceh menjelang pemungutan suara. Hal ini sesuai instruksi dari Kemenkumham pusat agar tidak merubah DPT yang ada.

Kekurangan surat suara diakui Kepala Lapas Kelas III Lhoknga. TPS Khusus yang ada di lapas tersebut disebut kekurangan lima suara suara untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.

“Lima surat suara untuk pemilihan presiden yang kurang,” kata Bambang.

Menanggapi terjadinya kekurangan surat suara di lapas maupun rutan, Sayuni selaku Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KIP Aceh mengatakan, agar petugas KPPS memberitahu ke TPS terdekat terkait kertas yang kurang.

“Apabila TPS Khusus pemilihnya banyak, maka akan dilayani oleh KPPS dari TPS terdekat,” timpal Sayuni.

Memang beberapa lapas maupun rutan mengalami kekurangan surat suara. Meski demikian, dikatakan Yulius, ada pula Lapas yang mengalami kelebihan surat suara seperti terjadi di Lapas Kelas II A Banda Aceh.

Akan tetapi, petugas lapas tidak bisa sembarangan memindahkan surat suara lebih ke TPS Khusus yang mengalami kekurangan. Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Aceh mengatakan, tindakan itu hanya bisa dilakukan oleh KIP.

Ternyata hal itu tidak langsung dikabulkan seperti terjadi di TPS Khusus Lapas Kelas III Lhoknga. Bambang selaku kepala lapas mengaku balot untuk jenis pemilihan presiden tetap kurang dan tidak pernah sampai hingga pemungutan berakhir.

Yulius berharap narapidana dan tahanan yang selama ini menjadi warga binaan bisa berpartisipasi dalam pemilu maupun pesta demokrasi lainnya. Sebab warga binaan juga memiliki hak untuk memilih.

“Mudah-mudahan ke depan nantinya narapidana dan tahanan itu bisa berpartisipasi dalam pelaksanaan pemilu presiden ataupun DPD serta pemilu yang lain,” ucap Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Aceh. 

Sementara itu, terkait ruang untuk kampanye di lapas maupun rutan, Yulius tidak berani menjamin. Selain mencegah terjadi kegaduan, tempat pemasyarakatan itu juga masuk dalam institusi vital dan harus netral.

Namun ia mengaku akan menyambut dengan baik apabila ada aturan yang membolehkan melakukan kampanye di lingkungan rutan dan lapas. Walau dikatakan Yulius, belum ada aturan yang membolehkan hingga saat ini.

“Apabila regulasi berubah, kita mau tidak mau ikut regulasi. Cuma dampaknya itu harus kita hitung, terutama dampak keributan,” jelas mantan Kepala Lapas Kelas I Palembang itu.

Berita Terkini Lainnya