Cerita Dhiropunno, Biksu Penjaga Toleransi di Kota Medan

Sejak kecil hidup di keluarga beda agama

Medan, IDN Times - Memutuskan untuk meninggalkan rumah, agar menjadi seorang Calon Bikkhu atau Biksu dengan mendalami agama Budha. Ia adalah Dhiropunno.

Sejak tahun 2010, ia telah mendalami ilmu agama Budha, dan kemudian Diupasampada menjadi Bikkhu pada tahun 2014 di Wat Thungpho, Buriram, Thailand.

Biksu muda ini sering dikenal B. DP. Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, 27 tahun silam ini menetap di Kota Medan.

Saat ini, Dhiropunno hidup berdampingan dengan sikap toleransi yang tinggi guna merawat kemajemukan Tanah Air Indonesia, khususnya di Kota Medan.

"Saya ingin memiliki wawasan yang luas dan banyak. Mungkin hak-hak saya menjadi orang yang mungkin berhak mempelajari banyak hal itu dibatasi. Ternyata di masyarakat itu ada yang begitu juga. Tetapi dengan perkembangan zaman dan media , teknologi sekarang orang lebih mudah mempelajari, menentukan jalan hidupnya sendiri. Istilahnya mereka tidak mendapatkan perlakuan-perlakuan yang tidak sesuai di sekitar mereka karena perbedaan. Karena hal yang seperti ini kan masih terjadi apalagi di pedesaan," ujar Dhiropunno.

Penasaran bagaimana dan apa saja sikapnya untuk bertoleransi agama dengan masyarakat ? Berikut IDN Times rangkum cerita Dhiropunno.

1. Sejak tahun 2010, Dhiropunno telah dalami agama Budha menjadi Bikkhu

Cerita Dhiropunno, Biksu Penjaga Toleransi di Kota MedanBikkhu Dhiropunno (IDN Times/Indah Permata Sari)

Dhiropunno bergerak di lintas iman sejak tahun 2010 menjadi Bikkhu. Kemudian memiliki ide tahun 2015-2016, awal ketika pulang dari Thailand. Ia melihat bahwa Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis, multi-kebudayaan, dan keimanan.

Dirinya mengaku akan berusaha untuk bergerak di lintas iman terutama di kalangan anak muda, seperti ustad muda dan pendeta muda. Karena menurutnya, mereka bergeraknya dikalangan pemuda berbasis pada kegiatan sosial maupun diskusi hal positif.

"Awal itu, saya buat di Jawa Tengah karena saya dari Jawa dari latar belakang Bapak saya Muslim. Keluarga ibu saya buddhis. Jadi kalau hidup di kalangan yang berbeda agama itu sudah dari kecil maka saya merasakan perbedaan hidup itu sendiri. Kalau kita bisa membangun seperti kebersaan toleransi alangkah lebih indahnya. Jadi, di kampung itu di Jawa Tengah saya buat persaudaraan itu. Zaya mengambil nama desanya Desa Jeruk," ucapnya.

2. Bangun kerukunan beragama dimulai dari diskusi

Cerita Dhiropunno, Biksu Penjaga Toleransi di Kota MedanIlustrasi toleransi agama (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurutnya, membangun kerukunan beragama itu tak selalu harus monoton seperti berada di rumah ibadah. Namun, berdiskusi mulai dari anak-anak muda ketika sudah bisa bersama dan menjadi keluarga, sahabat, saudara hingga ada emosional akan lebih mudah di dilakukan.

"Kita ada pendeta muda, pastur muda, ustaz muda, itu ada di kegiatan toleransi kita," ucapnya.

Baginya, kehidupan seorang Bikkhu itu bukanlah merantau tapi meninggalkan kehidupan berkeluarga.

"Untuk menjadi Bikkhu ini, saya bisa ke mana saja. Ketika saya ditugaskan ke mana atau saya memilih tempat untuk memilih pengabdian saya. Dari awal saya menjadi Samanera (Calon Bikkhu), saya memang sudah di Medan. Karena saya ikut guru saya di Medan. Jadi, masa pembelajaran saya itu di Medan," jelasnya.

3. Dhiropunno lebih fokus pada pembinaan masyarakat, khususnya anak muda dan masyarakat pada umumnya di lintas Iman

Cerita Dhiropunno, Biksu Penjaga Toleransi di Kota Medanhttps://mihwan.id/blog/

Usia sekitar 16 tahun, Dhiropunno ke Medan sejak lulus sekolah SMP dan berpisah dengan keluarga untuk mempelajari agama Budha lebih dalam.

"SMP itu saya sudah di luar kota, dan tidak bersama keluarga tapi masih di Jawa masih berusaha 16 tahun. Jadi saat saya mempelajari agama Buddha ini tidak langsung sekolah SMP. Tetapi, seperti sekolah pesantren tapi khusus Buddhis. Karena untuk menjadi seorang Bikkhu itu sendiri harus berumur 20 tahun. Tinggal di Thailand itu sekitar 3 tahunan. Baru balik ke Indonesia," ungkapnya.

Dirinya lebih memfokuskan pada pembinaan masyarakat, khususnya anak muda dan masyarakat pada umumnya di Lintas Iman.

Menurutnya, di beberapa daerah juga ada yang tidak berhubungan dengan agama, tetapi kemanusiaan lebih ataupun lebih ke sosial.

Baca Juga: Melongok Indahnya Toleransi Beragama di Labuhan Dalam Bandar Lampung

4. Berharap dapat berpengaruh pada masarakat

Cerita Dhiropunno, Biksu Penjaga Toleransi di Kota MedanBikkhu Dhiropunno (IDN Times/Indah Permata Sari)

Dhiropunno mengatakan bahwa ada sejumlah masyarakat bergesekan dikarenakan perbedaan agama dan sebagainya yang ternyata bermula dari ekonomi, dan politik. Sehingga ia menilai kurangnya literasi, dari anak-anak muda itu sendiri untuk membangun pola pikir yang baik.

"Sedangkan yang saya pelajari itukan tentang kedamaian, kebersamaan, cinta kasih dan sebagainya. Kalau untuk mungkin mengabdi di kalangan Buddha atau rumah ibadah, saya rasa sudah banyak Bikkhu yang ada. Tapi ternyata terjun langsung di masyarakat itulah yang lebih bermanfaat. Dan itu jarang sekali ada Bikkhu yang terjun ke masyarakat. Karena pertama kita sebagai seorang Bikkhu banyak sekali peraturannya. Dan mungkin tidak semua Bikkhu mengambil risiko atau siap dengan segala kendalanya," jelasnya.

"Tetapi saya dari awal sudah mengambil risiko dan belajar beberapa hal bagaimana bisa sebagai seorang Bikkhu atau rohaniawan yang banyak aturannya, tetapi bisa hidup berdampingan dengan masyarakat. Membawa pengaruh yang baik ke masyarakat, khususnya kalangan anak muda. Tidak terlalu ekstrem. Jadi bagaimana hidup manusia sebagaimana dasarnya," tambahnya.

5. Menjadi Bikkhu diakui dapat menemukan pemikiran baru

Cerita Dhiropunno, Biksu Penjaga Toleransi di Kota MedanIlustrasi toleransi agama (IDN Times/Mardya Shakti)

Baginya, perkembangan pola pikir seperti itu didapat ketika bergaul dengan banyak orang terutama orang-orang yang memiliki keyakinan dan pemikiran yang berbeda. Banyak yang didapat olehnya menjadi seorang Bikkhu, terutama pola pikir yang sempit bagi orang-orang tertentu.

"Jadi yah saya sebagai Rohaniawan itu mendalami spiritualnya. Ternyata banyak cara dan manfaat kalau kita memang bagikan langsung ke masyarakat. Yang paling tidak terlupakan itu pemikiran-pemikiran baru yang saya dapatkan," ucapnya.

Dirinya menceritakan bahwa, ada momen saat pernah tinggal di pesantren. Ia melihat ada hal-hal yang sangat awam bagi mereka pengetahuan tentang Bikkhu itu sendiri.

"Yang selama ini beberapa orang menabung rasa tidak suka, benci. Ternyata disitu saya bisa melepaskan rasa dendam dan benci orang-orang. Itulah yang menjadi hal yang berkesan," tuturnya.

6. Perkembangan batin secara rohani dalam proses menjadi Bikkhu

Cerita Dhiropunno, Biksu Penjaga Toleransi di Kota Medanhttps://mihwan.id/blog/

Dhiropunno menjelaskan ada beberapa hambatan dalam proses menikmati sebelum dan sesudah menjadi Bikkhu, terkhususnya pada perkembangan-perkembangan batin secara rohani.

"Yah, itu pasti ada hambatan karena kita tidak bisa fokus. Tetapi ada plusnya disitu bagaimana praktek secara langsung. Karena untuk mencapai itu juga mencapai sesuatu. Kita butuh cinta kasih, kedermawanan itu kita harus sampaikan langsung ke masyarakat. Untuk hambatannya dalam pencapaian spiritual. Karena kehidupan seorang Biksu, ustaz, pastur, pendeta itu pasti ada hal-hal spiritual yang harus dikembangkan. Mungkin itu salah satu yang kegiatan di luar ada sedikit hambatan," lanjutnya.

Hal ini secara tidak langsung karena gerakan itu gerakan bawah tanah, diam tapi mempengaruhi banyak orang. Terutama di kalangan pemuda, pelajar dan sebagainya.

Saat ini, Dhiropunno telah memiliki beberapa titik wilayah untuk tempat mengedukasi seperti literasi membaca.

"Kalau saya sendiri sih ada beberapa tempat literasi membaca. Mulai dari anak yang belum bisa baca sampai anak SMA. Saya di daerah Langkat, di tangkahan itu ada buka rumah baca bersama pemuda disana juga. Kemudian untuk motivasi-motivasi di sekolah, organisasi muda. Tapi selalu berhubungan dengan toleransi dengam pembentukan karakter. Supaya tumbuhnya itu tidak tertutup. Supaya tidak membuat kelompok tertentu yang mungkin membahayakan orang lain. Karena mungkin dari latar belakang saya yang pernah hidup dalam perbedaan. Rasa enak gak enaknya ada juga. Jadi saya gak mau hal yang gak enaknya itu ada terjadi di masyarakat," tambahnya.

Dhiropunno berharap terutama kepada anak-anak muda yang masih tahap mencari jati diri atau pembelajaran dalam mempelajari agama dan sosial, menurutnya harus harus seimbang.

"Istilahnya kalau seorang tokoh bilang, religius tanpa sosial itu pincang tetapi sosial tanpa religius itu buta. Jadi, hidup dalam beragama harus diseimbangi hidup dalam sosial. Supaya kita tidak terlalu ekstrem. Kita tidak berlebihan dalam memperjuangkan sesuatu tetapi bermanfaat bagi manusia. Terlebih anak muda tidak mudah terpengaruh tetapi menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi manusia lainnya," tutupnya.

Baca Juga: Hari Toleransi Internasional, Menag: Keragaman Bukan Dalih Konflik

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya