Silvia Ajeng, Relawan Kemanusian yang Berjuang di Ujung Indonesia
#AkuPerempuan Berbagi ilmu pada anak-anak untuk perdamaian
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Selamat Hari Perempuan Sedunia. Semua perempuan di Dunia layak merayakannya.
Untuk memeringatinya, IDN Times meminta narasumber untuk membuat sebuah surat yang menceritakan langsung pengalaman mereka.
Surat ini datang dari seorang wanita istimewa yang sedang melayani saudara-saudara kita di Abepura, Papua. Wanita tersebut bernama Silvia Ajeng.
Silvia sudah bermimpi menjadi pekerja kemanusiaan sejak kecil. Berbagai pengalaman menjadi relawan pun sudah dia kantongi, hingga kini dia bekerja di sebuah LSM internasional bernama Wahana Visi Indonesia.
Silvia mendapat gelar Master of Arts in International Relations dari Universitas Gadjah Mada dengan mengambil fokus studi Diplomasi Kemanusiaan Global. Dari waktu 1,5 tahun di UGM inilah wawasannya tentang kemanusiaan semakin mendalam.
Namun, bagi Silvia, teori saja tidak cukup. Ia harus membagi ilmunya kepada sebanyak mungkin orang, terutama yang bisa memberi manfaat kepada masyarakat di pedalaman atau wilayah konflik.
Selebihnya, silakan baca surat dari Silvia berikut ini.
Baca juga: Intan Kemala Sari: Selebgram Kreatif yang Mendobrak Standar Kecantikan
Halo...
Nama saya Silvia. Posisi saya saat ini ada di Abepura, Papua. Saya bekerja di Wahana Visi Indonesia sebagai Monitoring, Evaluation and Learning Coordinator di Port Numbay. Ini adalah tahun kedua saya melayani saudara-saudara di Papua.
Menjadi pekerja kemanusiaan memang merupakan mimpi masa kecil saya. Walaupun saya seorang wanita, saya ingin tinggal di daerah perang, konflik atau di pedalaman untuk melakukan sesuatu bagi teman-teman yang tergolong rentan seperti anak-anak, kaum difabel, perempuan, lansia dan kaum yang termarjinalkan lainnya.
Semasa menempuh pendidikan, terlibat sebagai relawan adalah panggilan jiwa. Misalnya, ketika SMA saya menawarkan diri untuk menjadi relawan di panti jompo dan panti asuhan. Di sana saya ikut membantu membersihkan bangunan hingga menjadi teman goyang campur sari.
Waktu kuliah di Yogyakarta saya sempat jadi relawan tanggap bencana. Dari situlah jalan saya untuk menjadi pekerja kemanusiaan semakin terbuka, terutama untuk melayani saudara-saudara di level akar rumput
Di saat itulah saya belajar bahwa tidak ada pembagian tugas antara pria dan wanita di konteks kebencanaan yang mendesak. Siapapun bisa berperan sebagai ibu yang mengatur segala logistik serta makanan atau sebagai ayah yang mengevakuasi masyarakat di zona merah.
Beberapa orang-orang terdekat saya bertanya mengapa saya memilih menempuh jalan ini. Entahlah. Mungkin karena saya merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi mereka yang terpaksa tinggal di daerah konflik maupun pedalaman di Indonesia.
Sebagai seorang wanita yang hidup dalam budaya patriarki, ada tantangan tersendiri yang harus saya hadapi (dan mungkin juga dialami wanita-wanita lain yang berprofesi sama). Beberapa orang masih menganggap remeh ketangguhan wanita bila ditempatkan dalam situasi darurat atau di area pedalaman.
Tapi, saya menjadikannya motivasi untuk semakin membuktikan bahwa wanita bisa menyumbangkan sesuatu yang sama dengan pria dalam hal kemanusiaan. Saya pun sadar, setiap tindakan kita (wanita yang menjadi pekerja kemanusiaan), bisa memperlebar atau mempersempit jalan bagi wanita-wanita lain di masa depan yang ingin mengabdi untuk kemanusiaan.
Namun, bukan itu tantangan terbesarnya. Menurut saya, tantangan terbesarnya adalah memahami bahwa pekerja kemanusiaan bukan datang untuk menyelesaikan semua masalah dengan memberikan bantuan baik barang, praktek dan pengetahuan lalu lekas menjadi pahlawan.
Pekerja kemanusiaan datang untuk membuka pikiran sesamanya (dalam konteks perdamaian) bahwa mereka memiliki kapasitas untuk bangkit dari permasalahan yang mereka hadapi.
Baca juga: Saski Primasari, Perempuan Hebat Dibalik Usaha Peralatan Dapur Vintage