[Eksklusif] Cerita Riri Riza dari Anak Band Hingga Jadi Sutradara 

Jatuh cinta dengan film saat kuliah

Siapa yang tak kenal dengan Riri Riza? Pria kelahiran Makassar ini dikenal sebagai  sutradara, penulis skenario, dan produser film. Dari tangannya telah lahir berbagai judul film yang telah banyak dinikmati masyarakat Indonesia. 

"Petualangan Sherina" (2000), "Gie" (2005), "Laskar Pelangi" (2008), "Sang Pemimpi" (2009), "Atambua 39° Celcius" (2012), merupakan beberapa judul film karya Riri Riza yang fenomenal. Bahkan, baru-baru ini dia membuat film berjudul "Bebas" yang masih tayang di bioskop Indonesia lho.

Meski kini jadi sutradara terkenal, ternyata pada awalnya Riri Riza tak tahu apa pun soal film. Dia baru bersinggungan dengan dunia film ketika kuliah. Penasaran kan bagaimana cerita Riri Riza memulai kariernya di dunia perfilman Indonesia? Nah, IDN Times pada Senin (7/10) berkesempatan untuk ngobrol banyak nih dengan Riri. Keep reading aja deh.

1. Halo Mas Riri, bisa gak diceritain awalnya jatuh cinta dengan film?

[Eksklusif] Cerita Riri Riza dari Anak Band Hingga Jadi Sutradara Dok. IDN Times

Saya tuh, saat remaja punya ketertarikan terhadap musik tapi di saat yang sama saya punya kakak yang kuliah di arsitektur dan seni rupa. Keluarga itu cukup demokratis. Orangtua saya cukup demokratis karena bekerja sebagai birokrat pemerintahan. Kami tumbuh di budaya Islam yang cukup kuat, tapi saat saya remaja, saya mau mendalami bidang apa pun atau mau ke mana saja dibebaskan dan didukung oleh orangtua.

Nah, karena ketika remaja saya punya kakak arsitek dan seni rupa, saya punya dorongan untuk ke bidang seni. Saya suka fotografi dan musik, sempat juga saya punya band. Karena itulah ketika kuliah saya mau masuk jurusan musik di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Tapi jurusan musiknya sudah lama gak menerima mahasiswa dan tak menggelar perkuliahan.

Saya akhirnya melihat ada jurusan sinematografi gitu. Saya merasa suka kan fotografi, akhirnya ya saya melihat, wah ini kan semua bidang yang saya minati masuk dalam bagian dari perfilman. Di jurusan itu kan ada seni rupanya, musiknya, storytelling-nya. Saya akhirnya putuskan masuk jurusan sinematografi.

Kemudian saya bertemu Mbak Mira Lesmana dan setelah baru lulus kuliah, saya sempat magang di perusahaan iklan, bekerja di bidang produksi film iklan dan menyebabkan keinginan saya membuat film gak terbendung. Jika saya mengingat hal itu sekarang ya, itu adalah satu hal yang saya pikir telah menjaga saya sampai ada terus di dunia ini. Itu tercipta dalam hidup saya, sebuah waktu dalam hidup saya dan saya menemukan partner-partner di waktu yang tepat.

2. Film pertama yang dibuat apa Mas Riri?

Waktu kuliah, saat usia saya 20 tahun pernah membuat film pendek. Bahkan untuk tugas akhir kuliah saya membuat film pendek "Sonata Kampung Bata" atau yang dalam bahasa inggris dikenal dengan "Sonata of the Brick Village". Film itu pernah ikut dan memenangkan Festival Oberhausen yang digelar di Jerman dan membawa saya pergi ke lebih dari 10 negara sebagai pembuat film muda di masa itu. Ya memang semuanya itu karena "Sonata Kampung Bata".

3. Kalau disuruh pilih, film mana yang paling berkesan dari seluruh film yang pernah dibuat Mas Riri?

Saya kebetulan bekerja di perusahaan film atau di dalam perusahaan film yang kayak komunitas. Dan hal itu membuat saya melibatkan diri sejak awal sekali produksi film. Saya ikut merancang cerita, kadang juga ikut penulisan skenario, semua persiapan itu dilakukan di kantor saya, jadi sulit sekali bilang film mana yang favorit karena semua film punya cerita sendiri. Akan tetapi mungkin saya bisa nyebutin beberapa, yang pertama tentu saja film saya yang pertama, "Petualangan Sherina" yang rilis tahun 2000.

Film yang saya bikin 19 tahun lalu itu adalah film yang istilahnya apa ya, 'meletakkan' saya pada sebuah kenyataan bahwa film itu adalah sebuah mass media yang bisa membuat dampak luar biasa. Besar sekali dampaknya. Banyak sekali orang yang menonton film itu sampai sekarang masih mention saya di Instagram maupun di Twitter coba bayangkan itu. 

Kemudian saya suka film "Laskar Pelangi". Itu adalah salah satu film kami yang paling sukses. Hal ini karena film "Laskar Pelangi" mampu menyadarkan jika seni itu bisa menginspirasi hidup dan pada saat yang sama seni bisa menginspirasi seni. Dampak dari film "Laskar Pelangi" bagi pulau yang jadi lokasi syuting, Pulau Belitung, itu luar biasa. Dampak dari film itu terhadap masa depan anak-anak yang bermain di film itu luar biasa, mereka mendapatkan beasiswa untuk sekolah sampai kuliah, bahkan sudah ada yang jadi sutradara film dan itu luar biasa.

Kemudian juga ada film "Atambua  39°". Film berbiaya murah yang saya buat di ujung batas Indonesia dengan Timor leste itu memberi saya kesadaran bahwa Tuhan itu bisa punya kemungkinan-kemungkinan yang luar biasa luas, baik skala besar maupun saat teknik bekerja.

4. Ada kesulitan gak mas kalau bikin film "Atambua 39°" secara kan itu di perbatasan?

Tentu, bagi saya itu sangat menantang ya. Mau mencapai ke Atambua sekitar lima jam harus terbang, lalu naik bus sekitar tujuh jam lagi. Film itu sejak awal tidak saya gunakan bahasa indonesia tapi menggunakan bahasa asli sana. Kemudian saya bekerja dengan pemain lokal, orang-orang yang tidak ada keterkaitan sama sekali dengan dunia film dan dia menjadi film yang sangat menarik. Dan film itu awalnya di-founding ya film pertama yang mungkin pakai dana publik sampai selesai.

5. Kalau ini untuk film "Bebas", susah gak sih Mas cari barang-barang khas tahun 90-an untuk keperluan syuting?

[Eksklusif] Cerita Riri Riza dari Anak Band Hingga Jadi Sutradara Dok. IDN Times

Sebenarnya saya menulis baik-baik di catatan saya ketika membaca skenario, apa saja yang akan menjadi fokus. Karena kan kita mengerjakan film itu, kalau sutradara mengontrol apa yang ingin diperlihatkan dan apa yang tidak ingin diperlihatkan kepada penonton, buat saya itu adalah modal saya.

Saya menyadari setiap produksi film itu ada keterbatasannya, jadi saya gak mencari hal-hal yang sulit. Saya kebetulan hidup di era 80-an lalu sampai ke era 90-an, saya remaja di masa itu. Lalu ada Mira Lesmana yang jadi teman diskusi saya.

Menurut saya menjaga baik-baik hal itu dan nanti kalau menonton film "Bebas", pasti bisa paham apa yang saya maksud. Saya gak memaksa menghadirkan keseluruhan, tapi saya punya frame-frame yang saya jaga supaya menjadi film yang baik.

Baca Juga: Review Film Bebas, Cerita Nostalgia Persahabatan Geng SMA 

6. Apa ada barang-barang yang harus mencari sampai ke mana gitu untuk properti film "Bebas"?

Sebenarnya mencari jenis telepon genggam di masa itu dan mencari suara dialing up internet di masa-masa 90-an, terus juga seperti mencari sudut-sudut kota yang masih menyerupai tahun 90-an. Kita juga mencari bajaj oranye, sekarang bajaj kan biru berbahan gas, waktu itu mencari bajaj warna oranye yang bisa jalan masih enak dilihat itu gak gampang juga lho.

Demi mendapatkannya sampai harus tiga - empat kali bertanya-tanya siap yang punya, baru dapat. Sebetulnya, untuk mencari itu semua kami punya tim production design yang bekerja dengan saya cukup lama. Mereka lah menjadi penyelamat banyak hal untuk saya.

7. Gimana rasanya kerja sama artis-artis muda yang masuk generasi millennials maupun generasi z?

Kita punya waktu untuk menyatukan gagasan. Hal itu sudah kita lakukan dari dulu, ketika kami membuat film-film pada tahun 2005. Saya pernah bekerja dengan Nicholas Saputra yang waktu itu masih berumur 19 tahun ketika membuat film "Gie". Saat membuat film itu syutingnya 75 hari dan Nicho harus memainkan tokoh yang usianya 25 tahun 26 tahun sebelumnya, jadi ya gak ada masalah.

Saya telah bekerja dengan generasi X maupun generasi Y gak ada masalah, yang penting dalam produksi film itu harus menyatukan dulu pemikiran semuanya ketika kita mau mulai. Jangan sampai ketika orang itu datang dengan membawa pikiran bahwa gue berbeda dari lo, kalau seperti itu ya tidak bisa.

Kita punya kesempatan untuk menyatukan pemikiran semua orang bersama-sama. Kita seperti itu dulu kemudian baru habis itu masuk ke dalam produksi. Buat saya sih itu, gak terlalu problem, gak terlalu rumit buat saya.

Baca Juga: Bikin Film karena Passion, Ini Proses Kreatif Mira Lesmana & Riri Riza

8. Ada perbedaan pendekatan gak sih antara pemain generasi millennial sekarang dengan generasi ketika zaman ketika Nicholas Saputra masih berusia 19 tahun?

Meizura ini usianya 19 tahun juga, ya ada perbedaan pendekatan lah. Kalau ditanya apa perbedaannya, saya tahu betul mereka itu perlu secara intens untuk bertatap muka. Kalau ada kriteria pemain generasi millennials dan generasi z, tapi menurut saya di generasi apa pun yang terpenting adalah personality ,kepribadian masing-masing.

Misalnya nih, geng Bebas lima orang yang usianya berbeda beberapa tahun itu bertengkar, pasti penanganannya beda-beda, yang satu begini yang satu begitu. Satunya anak Makassar, yang satu anak Jakarta, itu beda banget sikapnya, pola komunikasinya, dan cara-cara berkomunikasinya.

Lalu kemudian lama-lama saya berpikir, mungkin yang kita lakukan adalah berkomunikasi dengan terampil tentang apa yang sedang dilakukan, apa yang ingin kita mau capai bersama gitu, itu yang harus dibicarakan dengan jelas dan akhirnya semuanya gak ada masalah.

9. Rencana ke depan mau bikin film seperti apa setelah film "Bebas"?

[Eksklusif] Cerita Riri Riza dari Anak Band Hingga Jadi Sutradara Dok. IDN Times

Tentu saja kita punya beberapa rencana, tapi belum bisa dibicarakan banyak di sini karena banyak hal terkait pihak maupun bidang lain. Saya sih tentu saja merasa tidak hanya punya satu ide, tapi kadang dua ide, bahkan sampai tiga ide. Akan tetapi, kemungkinan bisa saja tiba-tiba saya mengerjakan yang lain.

Ya, mungkin saya akan tetap membuat film, tapi saya mungkin juga melihat kemungkinan mengerjakan sebuah serial untuk platform digital. Saya juga ingin membuat buku pertama saya tentang proses cara membuat film.

10. Rencananya kapan mas untuk bukunya?

Nah, doain ya. Kalau sudah ada beli ya nanti.

11. Berani mencoba bikin film superhero gak?

Saya pikir kenapa tidak sih. Suatu hari ketika ada sebuah cerita yang tepat untuk saya mungkin saya mau kerjakan sebenarnya dan mudah-mudahan saya bisa tetap dengan kemerdekaan yang saya miliki ketika membuatnya. Kan biasanya film yang sudah punya pakem yang terlalu ketat gitu bisa membatasi peran si pembuat film itu. Tapi, kalau suatu hari ada cerita yang tepat, mungkin saya bisa membuatnya.

12. Lagi hits film adaptasi novel atau buku, Mas Riri ada keinginan gak buat bikin?

Saya pernah memfilmkan "Laskar Pelangi" dan "Sang Pemimpi", buat saya itu adalah kemungkinan yang luar biasa bagi seorang pembuat film. Terutama jika sebagai pembuat film kita bisa merasakan apa yang ada diceritakan di film itu. Jadi minimal ada proses yang menimbulkan pergulatan-pergulatan estetika maupun pengalaman, kadang-kadang harus ada kekayaan filsafat, jadi semuanya sudah punya modal ini semua jika kita bicara novel yang baik.

Kalau seumpama di Indonesia kan kita punya beberapa penulis yang bagus seperti, Romo Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Ahmad Tohari. Lalu kita punya Umar Kayam, di mana orang-orang itu bisa dikatakan sebagai master-master penulisan cerita yang banyak berekspresi dalam medium yang panjang, agak epik gitu, menurut saya sih itu peluang ya, tinggal kita bisa memanfaatkannya dengan baik.

13. Mas Riri sudah punya bayangan novel mana lagi yang mau dibikin film?

[Eksklusif] Cerita Riri Riza dari Anak Band Hingga Jadi Sutradara Dok. IDN Times

Saya merasa setiap periode kehidupan, setiap novel, seperti saya tadi menyebut Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Ahmad Tohari, hidup dalam periode-periode istimewa. Ini karena mereka bisa menulis kegelisahan-kegelisahan zamannya.

Wah, kalau saya punya kemungkinan membuat itu, saya tentu saja akan melihat itu sebagai kesempatan. Menurut saya Mochtar Lubis adalah seorang penulis yang luar biasa, lahir dari tahun-tahun yang sangat penting di dalam keadaan kita, ya sekitar tahun-tahun 50-an sampai 60-an.

14. Ini pertanyaan terakhir mas. Menurut Mas Riri siapa artis paling enjoy diajak kerjasama?

[Eksklusif] Cerita Riri Riza dari Anak Band Hingga Jadi Sutradara Dok. IDN Times

Hmm, kalau itu lumayan banyak sih. Ya, salah satunya, kayak siapa ya? Salah seorang yang paling nyaman ini berarti pemain ya. Siapa ya? Hampir semua punya keistimewaan sendiri, tentu saja juga tidak semua sempurna ya.

Menurut saya, saya cukup sering bertemu dan berkomunikasi dengan Nicholas Saputra, lalu dengan Adinia Wirasti, misalnya dengan siapa lagi ya, Jajang C. Noer, itu sudah cukup terbuka. Nah, Cut Mini adalah salah seorang yang selain profesional juga sangat terbuka dan sangat percaya dengan intuisinya. Setelah itu, baru dia mempertanyakan apa pun, tapi kalau intuisinya bisa langsung menangkap apa yang diminta ke dia, dia akan ikut. Berarti yang pertama Cut Mini ya, lalu ada Nicho.

Itulah perjalanan karier sutradara Riri Riza hingga akhirnya bisa merilis berbagai macam judul film, termasuk film "Bebas". Semoga selalu sukses untuk karier Riri Riza ke depannya. Ditunggu karya-karyanya. 

Baca Juga: 7 Pelajaran Hidup dari Film Bebas, Sahabat untuk Selamanya!

Topik:

  • Edwin Fajerial
  • Erina Wardoyo

Berita Terkini Lainnya